Dialektika Musik dan ‘Free Palestine!’ dari Macklemore

Foto The Daily Dot

Oleh: Azwar Tahir

What if you were in Gaza?

What if those were your kids?

Demikian petikan lagu ‘Hind’s Hall’ oleh Macklemore, rapper Amerika peraih Grammy Award. Terinspirasi dari kemah-kemah mahasiswa pro- di kampus-kampus ternama Amerika yang kian hari kian menjalar.

Hind diambil dari nama Hind Rajab, anak perempuan usia 6 tahun yang sempat meminta pertolongan lewat telepon.

Namun, akhirnya Hind bersama keluarganya ditemukan wafat dalam mobil di Jalur Gaza.

Hal ini yang menginspirasi mahasiswa di Universitas Columbia mengganti nama Hamilton Hall, gedung di kampus mereka, menjadi Hind Hall.

Dalam liriknya, Macklemore mencantumkan “Free Palestine” dan lantang mengutuk Biden. Perlu diketahui, seluruh profit dari lagu ini akan disalurkan ke UNRWA untuk rakyat . Berikut petikannya;

“Where does genocide land in your definition, huh? (Hey, hey)

Destroyin’ every college in Gaza and every mosque

Pushin’ everyone into Rafah and droppin’ bombs

The blood is on your hands, Biden, we can see it all”

Berpuluh tahun Yusuf Islam menjauh dari dunia musik. Yusuf sadar ada debat ulama dalam hal ini. Pelantun ‘Peace Train’ ini memilih berkiprah di sektor pendidikan dan filantropi.

Sampai suatu hari Presiden Bosnia Herzegovina, Dr. Alija Izetbegovic, meminta pemilik nama panggung Cat Stevens tersebut kembali ke musik. Kembali ke dunia yang pernah menobatkannya sebagai pop star.

Yusuf sang musisi Barat yang masuk Islam, dinilai pas memainkan peran sebagai penghubung dunia Barat dan Islam yang bagi Alija, ada cultural gap di sana. Yusuf bertutur dalam bukunya, ‘Why I Still Carry A Guitar; The Spiritual Journey of Cat Stevens to Yusuf’;

“It was the President of Bosnia and Herzegovina himself, Dr. Alia Izetbegovic, who personally requested that I take up music again, to help bridge the enormous cultural gap – particularly in Europe where music is part of everyday air that people live and breathe.” (p. 62)

Tersebutlah Micheal Heart melihat ada yang tidak beres dengan media-media Barat kala mewarta Gaza. Informasi tentang Palestina tak utuh sampai ke publik.

Dalam sebuah wawancara, pemilik nama asli Annas Allaf itu menuturkan bahwa pekan demi pekan derita Gaza hanya mendapat porsi pemberitaan selama 30 detik. Itupun masih dibumbui distorsi. Maka dipilihlah ‘We Will Not Go Down’ sebagai media guna menyuarakan derita rakyat Gaza ke dunia.

Realita, musik punya sentuhan tersendiri di acara-acara kita. Mau itu pernikahan, tujuh belasan, kampanye, antri di barber shop, sampai pada menemani keheningan malam berteman rintik hujan seorang introvert🥹.

Di kalangan kaum politik pergerakan seperti PKS umpamanya, lagu-lagu, baik dengan atau tanpa iringan musik, sudah lama ada dan turut memainkan peran tersendiri.

Mulai dari grup yang legend-legend seperti Khibatul Ukhuwah – Dr. Ahmad Heryawan, mantan Gubernur Jawa Barat 2 periode ada di sini – , Izzatul Islam, Ruhul Jadid, Shoutul Harokah. Ada Maidany dan Na’am Acapella.

Sampai yang muncul belakangan seperti Izis Junior, dan Sound of GK. Boleh ditambah. Bahkan di link ini https://kampanye.pks.id/lagu/ Anda bisa temukan lagu “Go PKS Go’ versi Bugis-Makassar, Kalimantan Timur, Gorontalo Remix, Minang, Lampung sampai Jawa Koplo. Mau tambahkan listnya? Ckckck. Memang kreatif PKS ini. Sayang belum menang pemilu 2024 lalu.***

Tags: