Tidak semuanya tertarik atas permintaan bertugas di Batam, karena Batam ketika itu hanyalah hutan yang baru dibuka, penduduknya pun tak lebih dari 6.000 orang. Sarana jalan, air dan penerangan serba terbatas, apalagi untuk hiburan.
Namun salah satu yang tertarik dan menerima tawaran BJ Habibie adalah Tjahjo Prionggo, kini satu-satunya insinyur periode pertama Otorita Batam/Batam Industrial Development Authority yang masih aktif bekerja. Saat ini Otorita Batam telah berganti nama menjadi Badan Pengusahaan Batam/ BP Batam.
Menurut Tjahjo Prionggo dalam perbincangan beberapa waktu lalu, saat membangun infrastruktur di Batam kawasan yang paling dahulu dilengkapi adalah daerah Sekupang, dari sarana pelabuhan, jalan dua jalur, perumahan hingga pedestrian jalan yang mengadopsi Singapura ada disana.
“Namun banyak pengusaha local yang menolak diberikan alokasi lahan di Sekupang dan Batam Centre, karena menurut mitologi china, bahwa daerah itu merupakan bagian dari ekor dan perut naga, menurut feng shui, itu tidak bagus. Daerah Nagoya lebih diincar mereka, karena dianggap sebagai Kepala Naga, ketika itu agak lambat perkembangan dua daerah itu dibandingkan Nagoya,” kata Tjahjo.
Menurut Tjahjo, dari sisi penamaan kawasan atau daerah di Batam memang identik dengan sesuatu yang terlihat di daerah tersebut. Apalagi nama jalan tidak menjadi acuan ketika itu bahkan hingga saat ini.
Seperti simpang Frengky, yang kini berdiri apartemen mega Pollux Meisterstadt Habibie, disebut sebagai Simpang Frengky pada awal tahun 1994 karena disana ada sejumlah tumpukan tiang pancang ukuran besar untuk pembangunan rumah sakit.
Tumpukan tiang pancang itu bertuliskan Frengky Pile, namun karena pembangunan rumah sakit tidak dilaksanakan, sementara tiang pancang sudah ada di lokasi itu, maka masyarakat secara mulut ke mulut menyebut daerah itu sebagai simpang Frengky hingga saat ini.
Demikian juga dengan simpang Jam, yang kini terdapat Flyover Laluan Madani, dahulunya ada jam yang dibangun di tengah simpang empat oleh Bank Dagang Negara (BDN). Namun kini jam tersebut tidak ada lagi, bahkan bank tersebut juga telah lama dilikuidasi, namun nama simpang Jam tetap disebut-sebut oleh masyarakat Batam untuk menyebut kawasan tersebut.
“sedangkan nama Nagoya, tidak ada muasal muasal yang pasti darimana sehingga daerah itu disebut Nagoya. Daerah itu namanya Lubuk Baja, merupakan daerah hasil penimbunan, pengerukan atau reklamasi,” kata Tjahjo yang pertama kali datang ke Batam pada tahun 1989 dan mulai menetap secara permanen pada tahun 1992.
Menurut Tjahjo, sebagai generasi modern pertama yang menetap di Batam mengatakan, pada periode tahun 1980 hingga 1990-an, orang-orang yang hilir mudik datang atau sekedar berkunjung ke Batam, khususnya orang dari Jakarta, mengenal Batam sebagai surganya barang-barang fashion branded, buah-buahan import, bawang putih dan elektronik.
“orang Jakarta beli televisi ukuran 52 inchi atau alat-alat sound system itu ke Batam, karena di Jakarta sendiri saat itu TV ukuran 52 Inchi belum ada beredar,” kata Tjahjo.
Menurut Tjahjo, memang sejak awal di Batam telah hadir sejumlah perusahaan Jepang, bahkan perusahaan konsultan Master Plan pembangunan Batam di periode awal merupakan perusahaan Jepang.
“nama Nagoya itu sudah ada sejak saya datang kesini pertama kali, sudah dengar hingga sekarang,” kata Tjahjo.
Tjahjo mencatat, pertumbuhan penduduk di Batam termasuk yang paling tinggi di Indonesia, bahkan pernah pertumbuhan penduduk mencapai 26 persen per tahun, pertumbuhan penduduk itu berasal dari Migrasi dari daerah lain di Indonesia.
“saat itu Batam menjadi magnet, tempat orang mengejar mimpi-mimpinya,” kata Tjahjo.
Menurut Tjahjo, kawasan yang termasuk dengan nama Nagoya itu diawali dari Jalan Raden Patah di depan Polsek Lubuk Baja hingga membentang ke daerah Jodoh atau di depan Hotel Travelodge dulu popular sebagai Hotel Novotel. Kompleks pertokoan di kawasan itu dikenal dengan nama Nagoya.
“sebelum jalannya diaspal nama daerah itu sudah Nagoya,” kata Tjahjo.
Di daerah yang dikenal sebagai Nagoya sendiri, pada periode dibawah tahun 2005 banyak terdapat tempat-tempat karaoke dan bar bergaya Jepang. Pijat atau massage sekaligus merupakan layanan seks komersil juga banyak ditemui di tempat itu.
Namun kini menyesuaikan kebijakan pemerintah, tempat-tempat seperti itu tak lagi dapat ditemui di kawasan tersebut, ruko-ruko itu kini telah beralih fungsi. Hanya tersisa beberapa restoran Jepang yang sejak dahulu hadir, seperti Kazu yang sangat popular bagi orang Jepang di Batam.***
Sumber: terasbatam