Kemerdekaan Hakim Mahkamah Konstitusi

Kemerdekaan Hakim harus terjaga, baik secara orang perseorangan maupun secara kelembagaan. Kemerdekaan dalam membuat putusan, kemerdekaan atas segala bentuk intervensi dari pimpinan maupun rekan sejawat hakim, kemerdekaan atas pengaruh kekuasaan lembaga lain, dan kemerdekaan atas pengelolaan anggaran.

Kemerdekaan Hakim merupakan syarat mutlak terselenggaranya kekuasaan kehakiman dan syarat mutlak berdirinya negara hukum Indonesia yang demokratis. Negara hukum yang sumber legitimasi konstitusinya adalah rakyat Indonesia. Negara hukum yang mengantarkan rakyat Indonesia menuju pada cita-cita kemerdekaan Negara Republik Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Inilah spirit konstitusionalisme Indonesia.

Kemerdekaan Hakim memberikan pengaruh besar dalam pembentukan budaya hukum (legal culture) di Indonesia. Budaya untuk menghargai dan menjunjung tinggi hukum sebagai nilai dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk budaya untuk menghargai segala bentuk partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation).

Hakim harus taat pada kode etik dan pedoman perilaku hakim, serta peraturan perundang-undangan yang ada. Kedua aturan tersebut (etika dan hukum) merupakan pedoman bagi Hakim Mahkamah Konstitusi agar mereka tetap merdeka dalam menentukan isi putusannya. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 09/PMK/2006, kode etik dan pedoman perilaku Hakim Mahkamah Konstitusi memuat 7 (tujuh) prinsip. Ketujuh prinsip tersebut terdiri dari: (1) prinsip independensi; (2) prinsip ketakberpihakan; (3) prinsip integritas; (4) prinsip kepantasan dan kesopanan; (5) prinsip kesetaraan; (6) prinsip kecakapan dan keseksamaan; serta (7) prinsip kearifan dan kebijaksanaan. Ketujuh prinsip tersebut lazim disebut ”Sapta Karsa Hutama”. Ketujuh prinsip tersebut juga merujuk pada prinsip-prinsip yang termuat dalam “The Bangalore Principle of Judicial Conduct tahun 2002” serta “Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.”

Kemerdekaan Hakim Mahkamah Konstitusi merupakan kebebasan yang bertanggung jawab. Artinya, pelaksanaan atas kebebasan itu oleh Hakim Mahkamah Konstitusi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan rakyat Indonesia. Itulah alasannya, mengapa Hakim Mahkamah Konstitusi disebut juga sebagai “wakil Tuhan” di muka bumi. Setiap putusan Hakim Mahkamah Konstitusi, harus diawali dengan irah-irah ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tanpa adanya irah-irah tersebut, putusan Hakim Mahkamah Konstitusi dinyatakan batal demi hukum. Artinya, sejak awal putusan tersebut tidak berlaku meskipun isi putusan tersebut memuat berbagai bukti dan fakta persidangan yang lengkap dan logis. Sebagai wakil Tuhan, seorang Hakim Mahkamah Konstitusi tentu harus mempraktikkan sikap, pandangan, perbuatan, dan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai ketuhanan.

Hakim Mahkamah Konstitusi meskipun mempunyai kedudukan yang terhormat dan menyandang posisi sebagai wakil Tuhan di muka bumi, tetap saja ia merupakan manusia biasa yang tak luput dari segala khilaf dan juga salah. Beberapa Hakim Mahkamah Konstitusi pernah terbukti melanggar etika dan hukum yang menjadi pedoman perilakunya. Dampaknya, kepercayaan publik terhadap lembaga pengawal konstitusi (the guardian of constitution) tersebut menurun dan kewibawaannya selaku lembaga peradilan juga terkoyak.

Di tengah rasa pesimisme yang kuat, masyarakat masih menaruh harapan besar kepada Hakim Mahkamah Konstitusi. Mereka berharap, semoga masih ada kesadaran kolektif dan perubahan perilaku dari Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memperbaiki kepercayaan publik dan citra lembaga peradilan tersebut. Semoga Hakim Mahkamah Konstitusi juga mampu mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Laman: 1 2 3

Tags: , ,