Tetapi kemudian, apa hasil dari ilmu yang kita miliki dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki oleh mereka, para ‘ulama pendahulu kita? Bagaimana perbandingan berkah dari apa yang kita miliki dibanding dengan apa yang mereka miliki?
Sudah seharusnya hal ini menjadi salah satu bahan utama untuk berkontemplasi dan merenung. Mereka mungkin memiliki akses sangat terbatas dibandingkan kita. Kita ambil kitab-kitab hadits sebagai contoh. Kita sekarang bisa mengoleksi lebih dari 200 kitab hadits dalam perpustakaan digital pribadi. Kebanyakan dari kitab tersebut bahkan tidak dimiliki oleh ‘ulama-‘ulama terkemuka yang hidup 100 tahun yang lalu. Kitab-kitab tersebut belum dicetak secara luas di masa mereka hidup. Tetapi tetap saja berkah ilmu yang kita miliki tidak sebanyak berkah dari ilmu mereka.
Ada sejumlah hikmah yang bisa kita tarik dari fenomena ini. Apa yang kita peroleh dengan gratis atau cuma-cuma, biasanya akan kurang kita hargai. Sedangkan apa yang kita peroleh dengan jerih payah, biasanya akan kita jaga dan pelihara.
Apa yang bisa dengan mudah kita unduh atau download, tentu tidak akan sama penghargaannya dibandingkan dengan apa yang harus dilakukan oleh para ‘ulama 100 tahun yang lalu atau bahkan 1000 tahun yang lalu untuk memperoleh ilmu.
Jabir bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu Mencari Ilmu
Salah satu contoh dari berkah mencari ilmu dalam dalam agama Islam dijelaskan dalam salah satu judul bab dalam Kitab Sahih Imam Al-Bukhari, yaitu
الخُرُوجِ فِي طَلَبِ العِلْمِ
yang maknanya ‘Bepergian untuk Mencari Ilmu’.
Dalam judul bab ini, beliau meletakkan kalimat, “Dan Jabir bin ‘Abdullah (radhiyallahu ‘anhu) safar selama satu bulan untuk mendapatkan satu hadits.”
Namun, Imam Al-Bukhari tidak mencatatkan hadits tentang kisah Jabir ini dalam Kitab Sahih-nya karena di dalam isnad-nya, ada seseorang yang membuat derajat hadits ini turun sebagai hadits hasan, satu tingkat di bawah hadits sahih. Karena kehati-hatiannya, Imam Al-Bukhari hanya meletakkan potongan hadits ini sebagai judul bab dalam Kitab Sahih-nya
Imam Al-Bukhari memasukkan isi hadits hasan ini di dalam kitabnya yang lain, yaitu Adabul Mufrad.
Hadits ini mengisahkan ketika Jabir bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu sudah tua dan masih tinggal di Madinah, dia teringat sebuah pengajian bersama Rasulullah ﷺ dan Rasulullah ﷺ mengatakan sesuatu. Dia tersadar bahwa semua Sahabat yang menghadiri pengajian itu telah wafat, kecuali dirinya dan ‘Abdullah bin Unais.
Sebagai tambahan wawasan bagi kita, Jabir masih remaja ketika Rasulullah ﷺ masih hidup di Madinah. Oleh karena usianya yang masih muda ketika bertemu Rasulullah ﷺ di Madinah, Jabir hidup lebih lama bersama sejumlah kecil Sahabat yang juga masih muda umurnya ketika bertemu Rasulullah ﷺ. Sementara, para Sahabat Nabi ﷺ lainnya yang senior telah wafat terlebih dahulu.
Kembali ke hadits tadi, Jabir tidak terlalu yakin dengan redaksi perkataan Nabi ﷺ dalam pengajian tersebut. Maka Jabir bin ‘Abdullah berpikir dan memutuskan untuk memastikan redaksi perkataan Nabi ﷺ. Dalam hadits ini, Jabir berkata, “Aku pun bersegera membeli seekor unta dan mempersiapkan bekal perjalananku.
Aku tempuh perjalanan satu bulan untuk menemui orang tersebut, hingga sampailah aku ke Syam. Ternyata orang tersebut adalah ‘Abdullah bin Unais. Aku berkata kepada penjaga pintu rumahnya, ‘Sampaikan kepada tuanmu bahwa Jabir sedang menunggu di pintu.’ Penjaga itu masuk dan menyampaikan pesan itu kepada ‘Abdullah bin Unais. ‘Abdullah bertanya, ‘Jabir bin ‘Abdullah?!!!’ penjaga pintu menjawab, ‘Ya, benar!” (Begitu tahu kedatanganku), ‘Abdullah bin Unais bergegas keluar, lalu dia merangkulku dan aku pun merangkulnya. Aku berkata kepadanya, ‘Telah sampai kepadaku sebuah hadits, dikabarkan bahwa engkau mendengarnya langsung dari Rasulullah ﷺ tentang qishash. Aku khawatir engkau meninggal terlebih dahulu atau aku yang lebih dahulu meninggal sementara aku belum sempat mendengarnya.’“
Setelah pengantar hadits yang panjang tersebut, barulah ‘Abdullah bin Unais menceritakan perkataan Rasulullah ﷺ, “Seluruh manusia atau hamba nanti akan dikumpulkan di Hari Kiamat dalam keadaan telanjang, tidak berkhitan, dan buhma…. buhma itu tidak membawa apa pun. Kemudian Allah ﷻ menyeru mereka dengan suara yang dapat didengar oleh semuanya, ‘Aku adalah Al-Malik (Maha Raja)! Aku adalah Ad-Dayyan (Yang Maha Membalas Amalan Hamba-Nya)! Tidaklah pantas bagi siapa pun dari kalangan penghuni Jahannam untuk masuk ke dalam Jahannam sementara masih ada hak penghuni Jannah pada dirinya hingga Aku meng-qishash-nya.
Tidak pantas pula bagi siapa pun dari kalangan penghuni Jannah untuk masuk ke dalam Jannah sementara masih ada hak penghuni Jahannam pada dirinya hingga Kuselesaikan hak penghuni Jahannam itu darinya, meskipun hanya sebuah tamparan.”
‘Abdullah bin Unais melanjutkan, “Kita (para Sahabat) bertanya, ‘Bagaimana caranya menunaikan hak mereka sedangkan kita menemui Allah ﷻ dalam keadaan tidak berpakaian, tidak berkhitan, dan tidak memiliki apa pun?’ Nabi ﷺ menjawab, ‘Hak itu akan dibayar dengan pahala dan dosa yang kita miliki.’” (Adabul Mufrad, Hadits No. 970)
Tentu inti dari hadits ini memerlukan bahasan yang panjang. Namun kita kembali kepada pembahasan kita yang utama, yaitu berkah ilmu.
Dalam pengantar hadits tersebut, Jabir radhiyallahu ‘anhu kembali ke Madinah pada hari yang sama atau mungkin beberapa hari setelah pertemuannya ini dengan ‘Abdullah bin Unais. Jabir melakukan perjalanan pergi selama 1 bulan dan perjalanan kembali 1 bulan, sehingga total 2 bulan perjalanan, hanya untuk mencari 1 hadits.
Pertanyaan untuk kita, seberapa besar penghargaan yang Jabir berikan untuk 1 hadits ini? Seberapa sadar kira-kira Jabir untuk memenuhi perkataan Nabi ﷺ tersebut, yaitu dengan tidak menyakiti perasaan orang lain, baik Muslim maupun Kafir? Agar dirinya tidak melakukan kedzhaliman ataupun segala bentuk aniaya sedikit pun di dunia agar terhindar dari penghakiman antar manusia di akhirat kelak.
Kini, hadits ini bisa di-download, di-copy, di-paste di tulisan-tulisan. Sedangkan Jabir harus safar sekurang-kurangnya selama 2 bulan untuk mendapatkan hadits ini. Pasti sangat besar dampak hadits Nabi ﷺ ini pada diri Jabir.
Kini, kita bisa men-download semua hadits sahih dari Kitab Sahih Al-Bukhari kurang dari 2 menit, tetapi dampaknya pada diri kita tentu tidak bisa disamakan dengan dampak bagi mereka yang harus berupaya keras untuk mendapatkan hadits dan ilmu, atau dibandingkan pada mereka yang belajar pada para ‘ulama secara langsung.
Imam Malik dan Kitab Muwaththa`
Imam Malik rahimahullah menulis Kitab Muwaththa` sebagai salah satu kitab hadits paling pertama yang tersebar di kalangan penuntut ilmu. Orang-orang mendatangi majelisnya dan menulis Muwaththa` langsung dari mulut Imam Malik. Ketika satu rombongan khatam belajar, datang rombongan berikutnya. Tidak ada mesin cetak dan percetakan di masa tersebut. Para murid Imam Malik harus datang ke Madinah, duduk di Masjid Nabawi secara langsung, menghadap Imam Malik, dan menulis ulang serta mempelajari kitab tersebut untuk dirinya sendiri. 500-an hadits yang dikandung dalam kitab tersebut.
Sedangkan kita, selepas membaca artikel ini, bisa mencari 10 versi cetakan Muwaththa` dengan bahasa asli atau terjemahan dalam berbagai bahasa, lalu men-download-nya kurang dari 5 menit.
Setelah satu rombongan khatam belajar Muwaththa` dengan dirinya, Imam Malik memberikan ijazah kelulusan. Masing-masing muridnya tentu bahagia, banyak yang datang dari berbagai penjuru negeri Islam saat itu, mungkin dari Persia, dari Kazakhstan, dari Mesir, atau dari Maroko. Dalam salah satu kesempatan, tercatat satu ucapan Imam Malik kepada salah satu muridnya yang memegang salinan Muwaththa`, “Bagaimana mungkin kalian bisa menghargai kitab ini. Aku memerlukan 40 tahun untuk menyusunnya. Dan kalian di sini memiliki salinannya dalam beberapa pekan saja.”
Subhanallah, inilah apa yang dikatakan Imam Malik di masa hidupnya. Bayangkan bagaimana posisi kita dibandingkan dengan mereka.
Ini adalah salah satu alasan mengapa ilmu mereka jauh lebih berkah daripada ilmu kita. Ilmu bukan hanya meriwayatkan, bukan hanya menghapal, tetapi juga meliputi dampak yang ia berikan kepada diri ‘ulama tersebut dan manusia yang mendapatkan ilmu darinya. Ilmu memberi dampak positif pada kedekatan mereka pada Allah, pada gaya hidup mereka, juga pada keimanan serta ke-wara’-an yang mereka miliki.
Ilmu yang sedikit, tetapi memberi dampak positif pada keimanan kita jauh lebih utama daripada ilmu yang banyak, tetapi tidak memberi dampak apapun. Inilah yang bisa kita lihat dari para ‘ulama, para Sahabat, para tabi’un. Mereka menghargai ilmu yang mereka peroleh dan mereka serap sehingga berdampak pada perubahan gaya hidup mereka yang lebih baik.
Simpulan
Intinya adalah, dalam kondisi apapun kita berada, bersyukurlah dengan apa yang kita miliki dan berupayalah untuk meraih kualitas, bukan kuantitas. Kita berdoa kepada Allah agar diberikan ilmu yang bermanfaat, yang berdampak positif pada diri kita, yang kita serap dalam hati kita. Kita berlindung kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat, apalagi dari ilmu yang malah menyulitkan kita di Hari Kiamat kelak.***
Tags: khazanah, M. Tiza Nasution, PKS